“Luruslah kalian dalam sujud!” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)
Yang dimaksud lurus dalam sujud, kata al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi t
dalam ‘Aridhatul Ahwadzi (2/66—67), adalah seimbang tumpuan pada kedua
kaki, kedua lutut, kedua tangan, dan wajah. Jadi, tidak ada satu anggota
sujud yang mendapat beban lebih dari yang lain. Dengan demikian,
terwujudlah sabda Rasulullah n, “Aku diperintah untuk sujud di atas
tujuh tulang.”
Sementara itu, apabila kedua lengan dibentangkan sebagaimana anjing
membentangkan kedua kaki depannya, niscaya yang jadi tumpuan adalah
kedua lengan bawah, bukan wajah. Dengan begitu, kewajiban wajah tidak
tertunaikan.
Ibnu Daqiqil Id t juga menerangkan bahwa yang dimaksud i’tidal/lurus
adalah melakukan tata cara sujud sesuai dengan apa yang
diperintahkan/ditetapkan oleh syariat. (Ihkamul Ahkam, hadits no. 96)
Dengan demikian, perbuatan sebagian orang yang merentangkan punggungnya
dengan berlebihan sehingga hampir-hampir ia dalam posisi tiarap—dan
menyangka telah menjalankan perintah untuk lurus dalam sujud—justru
menyelisihi sunnah, karena tidak ada seorang pun sahabat yang
menceritakan tata cara shalat Rasulullah n yang menyebutkan bahwa beliau
meluruskan punggungnya di saat sujud sebagaimana yang mereka sebutkan
dalam ruku’1. Yang diajarkan dalam as-Sunnah hanyalah perut dijauhkan
dari kedua paha, tidak menempel, sehingga punggung dalam posisi
terangkat/tinggi.
Perbuatan memanjangkan punggung hingga lurus, selain menyelisihi sunnah,
juga masuk kepada kebid’ahan. Selain itu, perbuatan memberi kesulitan
yang sangat bagi orang yang shalat karena jika punggung lurus tentunya
berat badan bertumpu pada dahi dan memberi pengaruh pada leher, sehingga
akan sangat memayahkan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh
Ibnu Utsaimin t, 13/188 dan 379, asy-Syarhul Mumti’, 3/121)
Tata Cara Sujud Wanita Sama dengan Pria
Abu Dawud dalam Marasil-nya (hlm. 116—118, no. 87) meriwayatkan dari
Yazid bin Abi Habib, ia menyebutkan, “Nabi n melewati dua orang wanita
yang sedang shalat. Beliau n bersabda,
إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْم ِإِلَى الْأَرْضِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي ذَلِكَ لَيْسَتْ كَالرَّجُلِ
‘Apabila kalian berdua sujud, tempelkanlah sebagian tubuh kalian ke bumi
karena wanita tidak sama dengan lelaki dalam hal sujud’.”
Hadits ini mursal2 sebagaimana al-Imam Abu Dawud t membawakan hadits ini
dalam kitabnya, al-Marasil. Hadits mursal bukanlah hujah. Walaupun
riwayat yang mursal ini lebih baik dari sisi sanad daripada yang
maushul, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dalam
as-Sunan al-Kubra (2/223), namun hadits mursal tetaplah masuk dalam
kategori hadits-hadits yang lemah ketika dia berdiri sendiri. Lihat
keterangan lemahnya hadits ini dalam kitab adh-Dha’ifah (no. 2652) buah
karya al-Imam al-Albani t.
Dengan demikian, tata cara sujud bagi wanita tidak berbeda dengan
lelaki, berdasar hadits sahih yang sudah berulang kita bawakan bahwa
Rasulullah n menyatakan,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!”
9. Rasulullah n memberdirikan kedua telapak kaki beliau.
Hal ini sebagaimana diceritakan oleh hadits Aisyah x saat ia kehilangan
Nabi n dari tempat tidurnya di suatu malam. Aisyah x pun mencari beliau
dengan meraba-raba dalam kegelapan. Ternyata, tangannya menyentuh bagian
dalam kedua telapak kaki Rasulullah n, dalam keadaan keduanya
ditegakkan dan beliau sedang sujud. (HR. Muslim no. 1090)
Jari-jemari kaki saat sujud ini dilipat3. Punggung telapak kaki dan
ujung-ujung jari kedua kaki dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi z yang diriwayatkan oleh
al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya (no. 828),
وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
“Beliau menghadapkan ujung jari-jemari kedua kaki beliau ke arah kiblat.”
Caranya, dua telapak kaki ditegakkan di atas jari-jemari kedua kaki dan
kedua tumit berada pada posisi yang tinggi sehingga punggung kedua
telapak kaki bisa mengarah ke kiblat. (Fathul Bari, 2/382)
Kedua tumit ditempelkan, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Aisyah x
dalam Shahih Ibni Khuzaimah (no. 654), diriwayatkan pula oleh
al-Hakim
t (1/228) dan ia mengatakan bahwa hadits tersebut sahih menurut syarat
Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim, -red.), namun keduanya tidak
mengeluarkannya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi t. Namun, yang
benar ialah hadits ini hanya sahih sesuai syarat Muslim t (al-Ashl,
2/737).
Adapun lafadznya adalah sebagai berikut.
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ n-وَكَانَ مَعِيْ عَلَى فِرَاشِي–فَوَجَدْتُهُ
سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ
الْقِبْلَةَ ….
“Aku kehilangan Rasulullah n—tadinya beliau bersamaku di atas tempat
tidurku. Ternyata aku dapati beliau sedang sujud dengan menempelkan
kedua tumit beliau dan mengarahkan ujung-ujung jari-jemari beliau ke
arah kiblat….”
Sujud di Atas Tanah dan Tikar
Rasulullah n seringnya sujud di atas tanah karena memang masjid beliau
tidak ditutupi oleh hamparan atau tikar, sebagaimana ditunjukkan oleh
banyak hadits. Namun, beliau n pernah pula shalat di atas alas, tikar,
atau khumrah yang sekadar mengalasi wajah. Dengan demikian, tidaklah
terlarang apabila seseorang shalat dan sujud dengan memberi alas di
bawahnya, baik berupa tikar, permadani, sajadah, maupun yang semisalnya
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan t berkata, “Asalnya,
sujud dilakukan dengan meletakkan anggota-anggota sujud langsung
bersentuhan dengan tanah/bumi tanpa ada penghalang. Demikian yang afdal
karena menunjukkan puncak ketundukan/menghinakan diri kepada Allah k.
Namun, apabila seseorang sujud di atas sesuatu yang menjadi alas atau
penghalang antara dia dan tanah, tidak apa-apa dan tidak ada
larangannya. Shalatnya sah. Dahulu Nabi n sujud dengan apa yang mudah
bagi beliau. Beliau n pernah sujud di atas bumi (tanpa alas) dan
terkadang sujud di atas tikar.
Ulama mengatakan, “Alas yang dipakai untuk sujud orang yang shalat ada tiga macam.
1. Ia sujud di atas alas yang terpisah dari dirinya, seperti hamparan (tikar atau permadani atau yang semisalnya)
Yang seperti ini tidak apa-apa walaupun yang afdal adalah langsung di atas tanah.
2. Alas yang bersambung dengan orang yang shalat, seperti imamah/sorbannya dan ujung bajunya.
Ini juga tidak apa-apa karena para sahabat pernah melakukannya saat
shalat bersama Nabi n. Waktu itu, mereka merasakan tanah begitu panas
sehingga mereka kesulitan sujud di atasnya. Boleh pula memakai alas ini
guna menghindari duri atau kerikil.
3. Alas tersebut bersambung dengan orang yang shalat dan merupakan anggota-anggota sujudnya.
Hal ini menyebabkan shalatnya tidak sah. Misalnya, ia membentangkan
kedua telapak tangannya di atas tanah lantas sujud dengan meletakkan
dahinya di atas telapak tangannya. (Tashilul Ilmam, 2/253)
Bekas Hitam di Dahi karena Sujud adalah Tanda Orang Saleh?
Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t mengatakan, “Hal itu bukan
tanda orang-orang saleh. Yang menjadi tanda justru cahaya yang tampak
pada wajah (wajah yang tampak bercahaya/tidak suram dan menghitam), dada
yang lapang, akhlak yang baik, dan yang semisalnya. Adapun bekas sujud
yang tampak pada dahi, terkadang juga tampak pada wajah orang-orang yang
hanya mengerjakan shalat fardhu karena kulitnya yang tipis, sementara
itu pada wajah orang yang banyak mengerjakan shalat dan sujudnya lama
terkadang tidak tampak.” (Majmu’ Fatawa, fatwa no. 523, 13/188)
Seseorang yang Tidak Bisa Sujud dengan Sempurna atau Tidak Bisa Sujud Sama Sekali
Hal ini terjadi misalnya karena masjid penuh sesak dan orang-orang
berdesak-desakan saat mengerjakan shalat berjamaah, seperti yang terjadi
di Masjidil Haram. Kalaupun sujud, maka jatuhnya di punggung orang yang
shalat di depannya, bukan di tanah.
Tentang hal ini, ada tiga pendapat ulama.
1. Ia tetap sujud di atas punggung saudaranya atau di atas kaki
saudaranya apabila memang jamaah penuh sesak. Ini yang masyhur dalam
mazhab al-Imam Ahmad t.
2. Ia cukup memberikan isyarat.
3. Ia menanti hingga orang di depannya bangkit dari sujud, barulah ia sujud setelahnya.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah dengan memberi isyarat
karena ada asalnya dalam syariat, yaitu orang yang tidak mampu sujud
maka ia berisyarat. Sementara itu, orang yang disebutkan di atas,
hakikatnya ia tidak mampu sujud karena tidak ada tempat berupa lantai
untuk meletakkan anggota sujud.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat disuruh sujud di
atas punggung orang yang di depannya, tentu akan menimbulkan masalah,
yaitu ia mengganggu dan mengacaukan kekhusyukan orang lain. Lagi pula,
sujud yang dilakukan tetap tidak bisa sempurna, karena ia sujud di atas
sesuatu yang tinggi (punggung orang lain).
Sementara itu, pendapat yang mengatakan menanti orang yang di depan
selesai sujud, berarti orang tersebut akan tertinggal dari amalan
imamnya, walaupun ada sisi kebenarannya karena adanya sebuah uzur.
Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah dengan memberi isyarat,
wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu
Utsaimin t, 13/189—190, fatwa no. 525)
Wajib Thuma’ninah dan Menyempurnakan Sujud
Hudzaifah z pernah melihat seseorang tidak menyempurnakan ruku’ dan
sujudnya. Setelah orang itu selesai shalat, Hudzaifah z berkata
kepadanya, “Engkau belum shalat. Apabila sampai engkau mati dalam
keadaan shalatmu demikian, matimu tidak di atas fitrah yang ditetapkan
oleh Allah l kepada Muhammad n.” (HR. al-Bukhari no. 791)
Hadits ini menunjukkan wajibnya thuma’ninah dalam sujud. Apabila
thuma’ninah ini hilang, shalatnya akan batal. (Fathul Bari, 2/356)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 Rasulullah n meluruskan punggung beliau saat ruku.
2 Hadits mursal adalah hadits seorang tabi’in yang tidak bertemu
Rasulullah n langsung menyandarkan haditsnya kepada beliau, tanpa
menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah n. Adapun hadits
maushul adalah hadits yang sanadnya bersambung.
3 Haditsnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.