Sosial media

Hot on This Blog

Pages

Copyright Text

Featured

Featured

Tuesday 14 August 2012

Muntah Saat Puasa

muntah tidak membatalkan puasa
Satu kasus yang sering jadi pertanyaan pada bulan puasa adalah apakah muntah itu membatalkan puasa. Sebenarnya sudah sering kali pertanyaan ini diajukan dan dijawab dalam suatu forum tanya jawab namun tetap saja masih ada orang yang belum yakin dengan jawabannya.
Kami hanya sekedar mengulang jawaban dan hanya bagi yang belum yakin saja semoga bisa menambah keyakinan.
Diriwayatkan dari At Turmudzi, Nabi saw bersabda, "Siapa yang muntah dengan tidak sengaja, ia tidak perlu meng-qadha. Namun siapa yang muntah dengan sengaja, ia harus meng-qadha."
Jadi dari keterangan hadis di atas jika muntah tersebut keluar dengan sendirinya tanpa disengaja, maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak membatalkan puasa, baik muntahnya sedikit maupun banyak. Misalkan kita berada dalam suatu perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh (kalau jauh kita boleh saja tidak puasa atau dapat keringanan untuk tidak puasa dan harus mengganti di lain hari) tapi karena kondisi tubuh yang kurang fit kepala jadi pusing terus perut mual yang akhirnya kita muntah, hal ini jelas mentahnya tidak dengan disengaja jadi puasanya tetap sah dan boleh dilanjutkan samapi magrib.
Namun jika muntah tersebut disengaja entah karena sebab apa maka puasanya batal dan harus menggantinya diluar bulan Ramadhan.

Semoga bermanfaat.

Kasih Sayangi Orang Tua Kita


baitul-hikmah.com, “Barang siapa yang menjalani pagi harinya dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Barang siapa yang menjalani sore dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Dan barang siapa menjalani pagi harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka. Dan barang siapa menjalani sore harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka ”. (HR. Darul Qutni dan Baihaqi) Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Menyayangi hamba-hambaNya. Ya Allah, segenap puji untukMu, kami berada di pagi atau sore hari karenaMu, di atas fitrah Islam, dengan penuh keikhlasan sebagai Muslim. Ya Allah, sungguh, kami berada di pagi atau sore hari karena kenikmatan, kesehatan dan penjagaan dariMu. Sempurnakanlah untuk kami kenikmatan, kesehatan, dan penjagaanMu ini, di dunia dan di akhirat. Sholawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pejuang agamanya. Ya Allah, sayangilah dan ampunilah kekhilafan kami, orang tua kami, guru-guru kami , dan siapapun yang telah menyayangi kami selama ini. Jadikanlah setiap pagi dan sore hari kami, kami jalani dalam keridhaanMu dan keridhaan orangtua kami, agar selalu Engkau bukakan pintu syurga untuk kami. Menyayangi orang tua menempati kedudukan yang tinggi dalam agama kita, Islam. Perintah berbakti pada orang tua ditempatkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran sesudah perintah beribadah kepada Allah dan sesudah larangan menyekutukan-Nya. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak.” (Al Isra’: 23). Juga di dalam surah Al Ahqaf ayat 15 : “Kami wajibkan kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada kedua orang tuanya”. Dalam Islam, menyayangi atau berbakti pada orantua biasanya lebih akrab dengan istilah Birrul walidain. Birrul walidain terdiri dari kata al-birrul yang artinya kebajikan dan al-walidain yang artinya dua orang tua. Jadi, birrul walidain maknanya berbuat kebajikan pada kedua orang tua. Mengenai pentingnya berbakti pada orang tua, sahabat Abu Umamah r.a. mengisahkan, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai kedua orang tua. Rasulullah saw lalu menjawab, “Mereka (orang tua) adalah yang menyebabkan surgamu atau nerakamu” (HR. Ibnu Majah). Selain itu, Rasulullah saw meletakkan durhaka kepada dua orang ibu bapak sebagai dosa besar sesudah al isyraaku billah (syirik). Dan Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab: “Ya wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Islam telah memberikan pedoman dalam kehidupan kita secara indah dan sempurna. Agama kita tidak hanya menyeru sang anak untuk menyayangi orang tua, namun Islam juga menyeru para orang tua untuk mendidik anaknya dengan baik, khususnya dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini yang menghantarkan anak menjadi anak sholih yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian maka ketika anak dan orang tua sama-sama mengamalkan hal tersebut, akan terwujud harmoni yang indah dalam keluarga. Keluarga yang bercita-cita untuk berangkat ke surga, bersama-sama. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menyayangi orang tua kita. Sebagian contohnya adalah; menjadi anak yang sholih dan solihah, tidak menyusahkannya, meringankan beban-bebannya, mendengar dan menuruti nasihatnya, mewujudkan cita-citanya, santun padanya, saat mereka lanjut usia kita semakin menyayanginya, dan juga mendoakannya. Al Qur’an memberikan contoh yang begitu indah untuk berdoa, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al-Isra’: 24). Atau pada ayat yang lain, “Ya Allah, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat amal yang sholih yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai ke anak cucuku. Sungguh, aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf : 15). Kita harus mendoakan agar Allah berkenan memberikan kasih sayangNya pada mereka. Karena bagaimanapun, kasih sayang, perhatian dan perlindungan Allah jauh lebih besar dan Allah lebih mampu memberikan balasan kepada kedua orang tua kita atas segala pengorbanan, keringat, air mata dan segalanya yang tak mungkin dapat kita tebus. Kesempurnaan ajaran Islam juga terlihat pada Al-Quran (Al Isra’: 23-24) yang memberikan pengkhususan dalam birrul walidain terhadap orang tua yang sudah berusia lanjut, yaitu: 1. tidak mengatakan kata uffin (ah) 2. tidak membentak 3. mengucapkan perkataan yang mulia pada orang tua. 4. merendahkan hati dan penuh sayang pada mereka 5. mendoakan. Kata uffin dalam bahasa Arab berati ar-rafdu (menolak). Jadi sebaiknya kita tidak mengatakan kata-kata yang mengandung makna menolak, khususnya dalam memenuhi kebutuhan mereka dan apa-apa yang membuat orang tua kita ridha dan bahagia Menyayangi orang tua juga harus tetap kita lakukan, meski mereka telah tiada. Dengan menjaga silaturrahim dengan sahabat-sahabat mereka dan mendoakannya. Imam Muslim dalam kitab shahihnya menyebutkan tentang bab keutamaan menyambung hubungan persahabatan dengan sahabat orang tua. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya perbuatan yang terbaik adalah menyambung hubungan persahabatan dengan sahabat orang tuanya”. Tentang mendoakan orang tua yang sudah tiada, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah saw bersabda “Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata “Wahai Tuhanku dari mana aku mendapatkan derajat yang tinggi ini?. Maka dikatakanlah kepadanya “Ini adalah dari istighfar (doa ampunan) anakmu untukmu” (HR. Baihaqi) Sejak kanak-kanak, kita telah tumbuh dan dewasa dengan buaian rasa cinta dan kasih sayang orang tua. Kita telah banyak menguras kebugaran, kekuatan, dan perhatian kedua orang tua kita. Orang tua mengasuh dan memperhatikan kita, mau berkorban apa saja, bahkan mengorbankan diri mereka, demi anak. Meski demikian, kedua orang tua kita tetap merasakan bahagia atas segala pengorbanannya. Anaklah yang memerlukan dorongan kuat untuk memiliki nurani yang bening, yang sadar, agar selalu ingat akan kewajiban untuk menyayangi orang tuanya. Agar pesan untuk menyayangi orang tua dianggap serius, pesan itu datang sesudah perintah tegas untuk beribadah kepada Allah. Beberapa keutamaan birrul walidain berikut ini semoga semakin memotivasi kita untuk mengamalkannya. 1. Termasuk Amal yang Paling Allah Cintai Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.” Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Menghantarkan seseorang untuk masuk surga Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri mengatakan sanadnya jayyid) 3. Menjadikan barokah Umur dan Rezeki Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad) 4. Menjadikan Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni Allah berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Ya Allah, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat amal yang sholih yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai ke anak cucuku. Sungguh, aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf : 15-16). 5. Mendapatkan Ridha Allah “Keridhaan Allah ada pada keridhaan orangtua, dan kemarahan Allah ada pada kemarahan orang tua” (HR. At Tirmidzi). 6. Diterimanya Doa dan Hilangnya Kesusahan Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam gua. Salah satu diantaraa mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 7. Orang Tua Ridha dan Mendoakan Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya, doa orang musafir dan doa orang yang teraniaya”. (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Al-Albani). Allah SWT, melalui orangtua kita telah menjadikan kita hadir di dunia ini. Dan betapa beruntungnya jika setiap detik dalam kehidupan kita adalah serangkaian perjalanan yang semakin mendekatkan kita dengan perjumpaan yang indah dengan Allah dan surgaNya. Dan alangkah bahagianya jika kita bersama-sama, berangkat ke surga. Berangkat kesana, bersama mereka yang kita sayangi. Alangkah sangat berbahagianya kita, jika bersama-sama keluarga kita di surga, bersama dan bertetangga dengan nabi, sahabat dan keluarganya, para syuhada’ dan hamba-hamba Allah yang dicintaiNya. Dan Semoga Allah membimbing kita, memberikan kemudahan bagi kita untuk menjaga iman dan ketaqwaan kita, serta menjadikan kita pribadi yang penuh kebaikan dan penuh sayang. Menjadi anak yang sangat menyayangi orang tua, dan atau menjadi orang tua yang juga sangat menyayangi anak-anaknya. Mari semakin menyayangi orang tua kita. Sungguh, jika kita menyayangi mereka, surga menanti kita. Surga yang keindahan-keindahannya belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga dan belum pernah telintas oleh hati dan fikiran kita. Amin.
sumber : http://www.baitul-hikmah.com/sayangi-orang-tua-surga-menanti-kita-4382/

Cara Sujud Rosululoh

“Luruslah kalian dalam sujud!” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)
Yang dimaksud lurus dalam sujud, kata al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi t dalam ‘Aridhatul Ahwadzi (2/66—67), adalah seimbang tumpuan pada kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dan wajah. Jadi, tidak ada satu anggota sujud yang mendapat beban lebih dari yang lain. Dengan demikian, terwujudlah sabda Rasulullah n, “Aku diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang.”
Sementara itu, apabila kedua lengan dibentangkan sebagaimana anjing membentangkan kedua kaki depannya, niscaya yang jadi tumpuan adalah kedua lengan bawah, bukan wajah. Dengan begitu, kewajiban wajah tidak tertunaikan.
Ibnu Daqiqil Id t juga menerangkan bahwa yang dimaksud i’tidal/lurus adalah melakukan tata cara sujud sesuai dengan apa yang diperintahkan/ditetapkan oleh syariat. (Ihkamul Ahkam, hadits no. 96)
Dengan demikian, perbuatan sebagian orang yang merentangkan punggungnya dengan berlebihan sehingga hampir-hampir ia dalam posisi tiarap—dan menyangka telah menjalankan perintah untuk lurus dalam sujud—justru menyelisihi sunnah, karena tidak ada seorang pun sahabat yang menceritakan tata cara shalat Rasulullah n yang menyebutkan bahwa beliau meluruskan punggungnya di saat sujud sebagaimana yang mereka sebutkan dalam ruku’1. Yang diajarkan dalam as-Sunnah hanyalah perut dijauhkan dari kedua paha, tidak menempel, sehingga punggung dalam posisi terangkat/tinggi.
Perbuatan memanjangkan punggung hingga lurus, selain menyelisihi sunnah, juga masuk kepada kebid’ahan. Selain itu, perbuatan memberi kesulitan yang sangat bagi orang yang shalat karena jika punggung lurus tentunya berat badan bertumpu pada dahi dan memberi pengaruh pada leher, sehingga akan sangat memayahkan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, 13/188 dan 379, asy-Syarhul Mumti’, 3/121)
Tata Cara Sujud Wanita Sama dengan Pria
Abu Dawud dalam Marasil-nya (hlm. 116—118, no. 87) meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, ia menyebutkan, “Nabi n melewati dua orang wanita yang sedang shalat. Beliau n bersabda,
إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْم ِإِلَى الْأَرْضِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي ذَلِكَ لَيْسَتْ كَالرَّجُلِ
‘Apabila kalian berdua sujud, tempelkanlah sebagian tubuh kalian ke bumi karena wanita tidak sama dengan lelaki dalam hal sujud’.”
Hadits ini mursal2 sebagaimana al-Imam Abu Dawud t membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Marasil. Hadits mursal bukanlah hujah. Walaupun riwayat yang mursal ini lebih baik dari sisi sanad daripada yang maushul, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (2/223), namun hadits mursal tetaplah masuk dalam kategori hadits-hadits yang lemah ketika dia berdiri sendiri. Lihat keterangan lemahnya hadits ini dalam kitab adh-Dha’ifah (no. 2652) buah karya al-Imam al-Albani t.
Dengan demikian, tata cara sujud bagi wanita tidak berbeda dengan lelaki, berdasar hadits sahih yang sudah berulang kita bawakan bahwa Rasulullah n menyatakan,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!”
9. Rasulullah n memberdirikan kedua telapak kaki beliau.
Hal ini sebagaimana diceritakan oleh hadits Aisyah x saat ia kehilangan Nabi n dari tempat tidurnya di suatu malam. Aisyah x pun mencari beliau dengan meraba-raba dalam kegelapan. Ternyata, tangannya menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki Rasulullah n, dalam keadaan keduanya ditegakkan dan beliau sedang sujud. (HR. Muslim no. 1090)
Jari-jemari kaki saat sujud ini dilipat3. Punggung telapak kaki dan ujung-ujung jari kedua kaki dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi z yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya (no. 828),
وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
“Beliau menghadapkan ujung jari-jemari kedua kaki beliau ke arah kiblat.”
Caranya, dua telapak kaki ditegakkan di atas jari-jemari kedua kaki dan kedua tumit berada pada posisi yang tinggi sehingga punggung kedua telapak kaki bisa mengarah ke kiblat. (Fathul Bari, 2/382)
Kedua tumit ditempelkan, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Aisyah x dalam Shahih Ibni Khuzaimah (no. 654), diriwayatkan pula oleh al-Hakim t (1/228) dan ia mengatakan bahwa hadits tersebut sahih menurut syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim, -red.), namun keduanya tidak mengeluarkannya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi t. Namun, yang benar ialah hadits ini hanya sahih sesuai syarat Muslim t (al-Ashl, 2/737).
Adapun lafadznya adalah sebagai berikut.
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ n-وَكَانَ مَعِيْ عَلَى فِرَاشِي–فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ….
“Aku kehilangan Rasulullah n—tadinya beliau bersamaku di atas tempat tidurku. Ternyata aku dapati beliau sedang sujud dengan menempelkan kedua tumit beliau dan mengarahkan ujung-ujung jari-jemari beliau ke arah kiblat….”
Sujud di Atas Tanah dan Tikar
Rasulullah n seringnya sujud di atas tanah karena memang masjid beliau tidak ditutupi oleh hamparan atau tikar, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits. Namun, beliau n pernah pula shalat di atas alas, tikar, atau khumrah yang sekadar mengalasi wajah. Dengan demikian, tidaklah terlarang apabila seseorang shalat dan sujud dengan memberi alas di bawahnya, baik berupa tikar, permadani, sajadah, maupun yang semisalnya
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan t berkata, “Asalnya, sujud dilakukan dengan meletakkan anggota-anggota sujud langsung bersentuhan dengan tanah/bumi tanpa ada penghalang. Demikian yang afdal karena menunjukkan puncak ketundukan/menghinakan diri kepada Allah k. Namun, apabila seseorang sujud di atas sesuatu yang menjadi alas atau penghalang antara dia dan tanah, tidak apa-apa dan tidak ada larangannya. Shalatnya sah. Dahulu Nabi n sujud dengan apa yang mudah bagi beliau. Beliau n pernah sujud di atas bumi (tanpa alas) dan terkadang sujud di atas tikar.
Ulama mengatakan, “Alas yang dipakai untuk sujud orang yang shalat ada tiga macam.
1. Ia sujud di atas alas yang terpisah dari dirinya, seperti hamparan (tikar atau permadani atau yang semisalnya)
Yang seperti ini tidak apa-apa walaupun yang afdal adalah langsung di atas tanah.
2. Alas yang bersambung dengan orang yang shalat, seperti imamah/sorbannya dan ujung bajunya.
Ini juga tidak apa-apa karena para sahabat pernah melakukannya saat shalat bersama Nabi n. Waktu itu, mereka merasakan tanah begitu panas sehingga mereka kesulitan sujud di atasnya. Boleh pula memakai alas ini guna menghindari duri atau kerikil.
3. Alas tersebut bersambung dengan orang yang shalat dan merupakan anggota-anggota sujudnya.
Hal ini menyebabkan shalatnya tidak sah. Misalnya, ia membentangkan kedua telapak tangannya di atas tanah lantas sujud dengan meletakkan dahinya di atas telapak tangannya. (Tashilul Ilmam, 2/253)
Bekas Hitam di Dahi karena Sujud adalah Tanda Orang Saleh?
Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t mengatakan, “Hal itu bukan tanda orang-orang saleh. Yang menjadi tanda justru cahaya yang tampak pada wajah (wajah yang tampak bercahaya/tidak suram dan menghitam), dada yang lapang, akhlak yang baik, dan yang semisalnya. Adapun bekas sujud yang tampak pada dahi, terkadang juga tampak pada wajah orang-orang yang hanya mengerjakan shalat fardhu karena kulitnya yang tipis, sementara itu pada wajah orang yang banyak mengerjakan shalat dan sujudnya lama terkadang tidak tampak.” (Majmu’ Fatawa, fatwa no. 523, 13/188)
Seseorang yang Tidak Bisa Sujud dengan Sempurna atau Tidak Bisa Sujud Sama Sekali
Hal ini terjadi misalnya karena masjid penuh sesak dan orang-orang berdesak-desakan saat mengerjakan shalat berjamaah, seperti yang terjadi di Masjidil Haram. Kalaupun sujud, maka jatuhnya di punggung orang yang shalat di depannya, bukan di tanah.
Tentang hal ini, ada tiga pendapat ulama.
1. Ia tetap sujud di atas punggung saudaranya atau di atas kaki saudaranya apabila memang jamaah penuh sesak. Ini yang masyhur dalam mazhab al-Imam Ahmad t.
2. Ia cukup memberikan isyarat.
3. Ia menanti hingga orang di depannya bangkit dari sujud, barulah ia sujud setelahnya.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah dengan memberi isyarat karena ada asalnya dalam syariat, yaitu orang yang tidak mampu sujud maka ia berisyarat. Sementara itu, orang yang disebutkan di atas, hakikatnya ia tidak mampu sujud karena tidak ada tempat berupa lantai untuk meletakkan anggota sujud.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat disuruh sujud di atas punggung orang yang di depannya, tentu akan menimbulkan masalah, yaitu ia mengganggu dan mengacaukan kekhusyukan orang lain. Lagi pula, sujud yang dilakukan tetap tidak bisa sempurna, karena ia sujud di atas sesuatu yang tinggi (punggung orang lain).
Sementara itu, pendapat yang mengatakan menanti orang yang di depan selesai sujud, berarti orang tersebut akan tertinggal dari amalan imamnya, walaupun ada sisi kebenarannya karena adanya sebuah uzur.
Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah dengan memberi isyarat, wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t, 13/189—190, fatwa no. 525)
Wajib Thuma’ninah dan Menyempurnakan Sujud
Hudzaifah z pernah melihat seseorang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Setelah orang itu selesai shalat, Hudzaifah z berkata kepadanya, “Engkau belum shalat. Apabila sampai engkau mati dalam keadaan shalatmu demikian, matimu tidak di atas fitrah yang ditetapkan oleh Allah l kepada Muhammad n.” (HR. al-Bukhari no. 791)
Hadits ini menunjukkan wajibnya thuma’ninah dalam sujud. Apabila thuma’ninah ini hilang, shalatnya akan batal. (Fathul Bari, 2/356)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 Rasulullah n meluruskan punggung beliau saat ruku.
2 Hadits mursal adalah hadits seorang tabi’in yang tidak bertemu Rasulullah n langsung menyandarkan haditsnya kepada beliau, tanpa menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah n. Adapun hadits maushul adalah hadits yang sanadnya bersambung.
3 Haditsnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.

Wednesday 8 August 2012

10 Keistimewaan Sedekah

Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW banyak menjelaskan tentang keajaiban sedekah.

Beberapa keajaiban sedekah tersebut diantaranya adalah:
1. Sedekah bisa melepaskan pelakunya dari bencana.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya sedekah dapat menolak 70 pintu bencana."

2. Sedekah merupakan obat penyakit pada tubuh.
Rasulullah SAW bersabda,
"Obatilah penyakitmu dengan bersedekah."

3. Sedekah sebagai benteng buat diri kita.
Rasulullah SAW bersabda,
"Bentengilah harta bendamu dengan sedekah."

4. Sedekah sebagai pemadam kemurkaan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah dapat menutup kemurkaan Allah."

5. Sedekah bisa menambah keakraban sesama muslim.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah adalah hadiah. Maka, berikanlah hadiah kepada teman pergaulanmu dan berkasih sayanglah kalian dengan saling memberi sedekah."

6. Sedekah dapat menambah umur.
"Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah dapat menolak musibah serta dapat menambah keberkahan umur."

7. Sedekah mampu menanamkan rasa belas kasihan dalam hati.
Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa mendapatkan kesedihan hati, maka berikanlah sedekah."

8. Sedekah sebagai syafaat kelak di akhirat.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya yang akan menaungi orang mukmin pada hari kiamat kelak adalah sedekah."

9. Sedekah menuai pahala yang termat besar.
Dalam sebuah atsar disebutkan,
"Barang siapa bersedekah dengan sebiji tamar, kelak di hari kiamat dia akan mendapat pahala sebesar gunung yang berada di atas timbangan amalnya."

10. Sedekah sebagai wasilah menambah rezeki.
Rasululah SAW bersabda,
"Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan akan bertambah, akan bertambah, dan akan bertambah."

Itulah beberapa hadits mengenai khasiat sedekah.
Maka Pancinglah rezeki dengan bersedekah.

Posting awal ini diambil dari http://uswahislam.blogspot.com